Keren,
berwibawa, terpandang.
Kacamata
manusia hanya sekedar memandang jabatan adalah suatu posisi yang dimiliki
seseorang hebat tentunya dengan segudang kemampuan dan ilmu yang mumpuni.
Namun dibalik itu semua, perlu mental dan pendirian kuat yang wajib dimiliki
bagi seorang pemimpin/yang menjabat posisi tersebut.
***
Assalamualaikum
sobat muslim dan selamat pagi untuk seluruh teman-teman, gimana kabar kalian?
Aku harap semua sehat wal’afiat ya. Ditengah pandemik seperti ini, jangan
sampai kita sakit karena panik berlebihan terhadap virus kecil itu, tapi juga
tidak mengabaikan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan yaaa. Review kali
ini adalah, bahasan tentang seberapa penting jabatan? Akankah membawa manfaat
atau mudharat ? Niatku disini hanya berbagi pengalaman nyata yang bahkan sedang
aku alamin sendiri sudah setahun ini.
***
BTW,
menurutmu jabatan itu apa? Pastinya sudah tidak heran lagi, jaman sekarang
jabatan itu udah gak WOW lagi kayak jaman dulu yang dipandang berkelas banget
dan susah dapetinnya. Sekarang? Jabatan adalah suatu yang bikin orang “kalo
bisa gak usah menjabat” karena gak mau repot dengan tugas serta
tanggungjawabnya.
Alhamdulillah,
sudah setahun lebih aku bekerja di sebuah Rumah Sakit swasta dan sudah 2 kali
menjadi Ahli Gizi di tempat yang berbeda. Tapi…. Yang sangat aku sayangkan
adalah beban dan tanggung jawabku sebagai Ahli Gizi melebihi ekspektasiku
sebelum aku bekerja di Rumah Sakit.
Singkatnya,
di tempat kerjaku yang dulu maupun sekarang, Kepala Instalasi Gizi adalah
posisiku sudah setahun lebih ini. Tugasku mengontrol Instalasi Gisi, visit
pasien setiap hari dan lain-lain. Pekerjaanku tidak sulit, namun ada yang lebih
sulit. Apa?
Menjadi Kepala Instalasi Gizi yang baik.
Masalah
jobdesk, lancar-lancar saja, bahkan kalau ada masalah/kendala aku bisa
mengatasinya dengan baik. Tapi mempunyai jabatan seperti itu bukan hanya
sekedar mengenai pekerjaanku saja. Tapi juga mengenai rekan kerja yang harus
kubimbing.
Itu yang
sulit …. Aku mengakui membimbing orang banyak itu tidak mudah. Berbagai macam
karakter harus kukenali, mempelajarinya kemudian mengintervensi bagaimana
penatalaksanaannya.
Aku
sungguh bermimpi.. Ingin sekali rasanya aku menjadi Ahli Gizi biasa saja, punya
senior yang lebih pintar dan Kepala Gizi yang sudah berpengalaman dan
pendidikannya diatasku, aku sungguh tidak ingin menjabat jadi Kepala. Rasanya
terlalu berat jika aku dibilang bos/atasan. Aku menyebut diriku sendiri sebagai
“Pembimbing”.
***
Di Rumah
Sakit yang lama aku mempunyai 4 rekan kerja dan di RS yang sekarang ada 6 rekan
kerja yang harus kubimbing. Awal mula, disini mereka (para rekan kerja) sulit
sekali diberi nasehat. Karena mungkin aku baru juga jadi Ahli Gizi disini. Lama
kelamaan sekitar 6 bulan, akhirnya aku bisa perlahan-lahan membimbing mereka.
Tentunya dengan cara yang baik, sopan dan tidak galak/kasar/keras,
Aku tipe
orang yang pendiam, sulit beringas. Namun jika aku sudah kesal, terlalu lama
dipendam, aku meledak pada saat rapat dan agak sinis kepada mereka yang susah
diatur dan melontarkan kata-kata yang mungkin juga mereka bisa saja kaget
mendengarnya. Tapi hanya sebatas perihal kerjaan bukan karena subjektif ya.
Contohnya
: “Saya tidak suka kalian bandingkan dengan Ahli Gizi yang lama, peraturan saya
ya begini, mereka (Ahli Gizi yang lama) sudah tidak ada disini, Move On lah
kalian, jangan samakan dengan saya”
Mereka
hanya terdiam. Jika mereka berbuat kesalahan, dan itu berulang serta sulit
dikasih nasehat.
Saya
sinis lagi “Tolong lah, saya bilang
begini karena ingin teman-teman jadi lebih baik lagi, tolong jangan sok tahu,
budayakan bertanya jangan semaunya saja, kalo kalian gak mau nurut atau ngeyel
juga, lihat saja nanti akibatnya, kalian akan rasain sendiri. Apa yang kalian
perbuat suatu saat akan menimpa kalian lagi, menanam keburukan maka itu yang
akan didapat”. Mereka kembali hening.
Ada dua
orang yang sulit diatur. Tadinya ada 3. Satu sudah berhasil kubimbing yang
tadinya agak “ngeyel dan frontal” sekarang sudah jauh lebih baik, lebih bisa
mengontrol emosi dan cara bicara. Tinggal dua orang ini yang agak susah. Namun
mereka perlahan mau mendengarkanku, tentunya dengan evaluasi yang baik.
***
Sungguh
berat tanggungjawab ini. Aku merasa belum pantas apalagi teman yang kubimbing
senior yang umurnya kebanyakan jauh diatasku. Harus sopan tapi tegas. Itu
sulit… Awalnya aku gak bisa tegas-tegas apalagi sinis. Tapi lama-lama, kok
susah ya dibilangin akhirnya aku meledak juga huffftt. Untuk suatu tujuan yang
baik tentunya.
Aku
berharap teman-teman tidak hanya pekerjaannya saja yang beres tapi juga
mempunyai akhlak/perilaku yang baik kepada sesama. Tidak julid, menjatuhkan
divisi lain dan hal buruk lainnya. Walaupun divisiku juga perah diusik dan
difitnah. Namun tidak terbukti dan atasanku (HRD) percaya penuh kepada Instalasi
Gizi. Masyaallah. Seberat itu aku harus pasang badan jika terjadi sesuatu
dengan teman-temanku atau perbuatan salah seorang dari kami.
***
Tugasku
membimbing divisi lambat laun Alhamdulillah, sudah terlihat progressnya.
Teman-teman yang tadinya ngeyel, asal jeplak menjadi lebih menjaga lisan dan
nurut nasihatku atau jika ada SOP/peraturan baru. Mereka ku tanamkan mindset
harus selalu nurut dan menjalankan mengenai ilmu/SOP yang aku salurkan kecuali
jika peraturanku menyangkut hal diluar pekerjaan.
Bagaimana?
Tidak mudah untuk menjabat dengan sabar, tidak marah-marah, dan selalu
menyalurkan budi pekerti yang baik. Maka dari itu aku mengerti atasan
perusahaan sering kali memaksa karyawannya untuk perfeksionis, kerja cepat dsb.
Karena beban mereka selangit, mereka yang pasang badan, mereka pula yang ambruk
hati serta jiwanya jika ada sesuatu yang salah. Mental baja sangat dibutuhkan
pada setiap atasan. Gak bisa sekali dua kali jatuh udah lemah, tak berdaya dan
menyerah. Ujian bukan hanya dari divisi kita saja, tapi dari divisi lain. Ini
yang sulit. Menyamakan persepsi mengenai SOP yang sudah dibuat. Sering
diingatkan saja masih suka salah, apalagi hanya didiamkan. Ada 2 faktor yang
membuat SOP sulit untuk dijalankan :
1. Keegoisan karyawan
2. 2. Pembuat SOP tidak Konsisten
Atau
kalian mungkin punya faktor tambahan lain? Komen dibawah yaaa.
Untuk hal
yang pertama, ketika kami sudah mengingatkan personil untuk menaati SOP. Sekali
dua kali dijalankan. Ok. Besok-besok kendor lagi. Itu sering sekali terjadi.
Akibatnya? SOP itu rata dengan keegoisan mereka, seperti bisa berlaku bisa
tidak. Padahal wajib sekali ditaati. Maka, jika itu selalu berulang, kita
berhak untuk menyampaikan pada Kepala Divisi (KaDiv). Sekali dua kali tiga kali
OK. Nanti, kumat lagi. Dan seterusnya. Artinya personil patuh saat diingatkan
oleh KaDiv saja. Tapi tidak ditanamkan dalam kinerja dia sendiri. Maka dari
itu, kita perlu melakukan pendekatan kepada atasan langsung. Yaitu Kepala Pelayanan
Medis/Yanmed (jika bekerja di RS). Mengenai terhambatnya SOP tidak berjalan
apalagi sampai merugikan salah satu divisi dan menjatuhkan citra pelayanan.
Bagiku…
yang sulit adalah… pppfffttt banyak sulitnya …
Jika
KaDiv tidak terima bahwa masalah ini didiskusikan oleh atasan langsung. Padahal
bukan maksud kami untuk menjatuhkan dia. Tapi untuk mencari jalan keluar gimana
SOP tersebut bisa terus berjalan tanpa keegoisan salah satu personil. Ada KaDiv
yang marah-marah sampai bicaranya gak pantes/menjatuhkan, ada yang bisa
menerima legowo bahwa personilnya memang harus dibenahi.
Macam-macam
lah. Kita dituntut harus banyak sabar dengan segitu banyaknya karakter mulai
dari yang julid, sampai ke yang mengganggu. Itulah sebab awalnya aku berpikir
jadi seorang leader itu tidak seindah atau sekeren yang dibayangkan
orang-orang. Keren karena mereka pikir leader itu tinggal memerintah saja.
Padahal? Hakikat aslinya untuk membimbing anggotanya agar bisa lebih baik lagi.
Sama kayak ngurus anak (padahal belum punya anak), tanggung jawabnya besar.
Title jabatan memang tidak dibawa mati namun hasilnya? Pasti ditanya. Apa saja
yang sudah dilakukan selama menjabat, bagaimana tanggung jawab terhadap profesi
kita. Apalagi kita sudah disumpah setelah lulus menyebut “Demi Allah di depan
Al-Qur’an” bahwa kita akan memberikan
pelayanan sebaik-baiknya, tidak membocorkan rahasia/merugikan pasien, dsb. Coba….
gimana tidak berat.
***
Faktor ke 2 Pembuat SOP sulit untuk
konsisten.
Aku juga
sambil belajar mengenai hal ini. Karena ini lebih sulit dari faktor pertama.
Dari sini kita dilema banget, seringkali orang-orang belum bisa menaati
walaupun itu semua tergantung individunya. Karena akan lebih terasa berat jika
kesalahan itu bersumber dari diri kita. Kalau dari keegoisan karyawan
setidaknya kita sudah berusaha maksimal tetapi jika memang belum bisa
konsisten, maka hal tersebut sudah diluar kemampuan kita, dan menjadi tanggung
jawab atasan langsung jika terjadi sesuatu.
Tapi
kalau itu bersumber dari diri kita? Ya sambil berjalan jika ada yang berbau
melanggar tetap harus kita ingatkan jangan merasa tidak enak. Aku pernah
merasa begini, namun lama – kelamaan itu tidak baik menurutku karena aku sudah
membiarkan orang lain tidak sejalan. Jadi
leader tidak boleh merasa tidak enakan, karena itu akan dimanfaatkan orang
lain untuk melakukan hal seenaknya saja, tapi jika sesuatu terjadi maka
berimbas kepada divisi kita.