Sunday 11 November 2018

Ketika Realita ≠ Cita-cita


Empat bulan menganggur setelah bekerja freelance. Yaitu program penelitian kesehatan dari pemerintah.  Akhirnya aku berlabuh juga di suatu perusahaan pembiayaan mobil terbesar di Indonesia.

Aku selalu mengikuti test kerja dimana pun. Tidak memandang sesuai atau tidak dengan latar pendidikanku. Saking butuhnya pekerjaan itu. Karena diriku merasa malu (jujur) belum bekerja lantaran memang belum waktunya Allah kasih pekerjaan yang terbaik untukku. Disamping itu, uang saku juga sudah mulai menipis.

Di rumah aku selalu menghabiskan waktu membantu mama membereskan rumah, membaca novel atau menulis artikel yang mungkin receh menurut pembaca, kalau seandainya pembaca suka ya alhamdulillah.

Cita-cita .... sebenarnya sedari SMA aku ingin jadi Ahli Gizi.  Biaya kuliah tidak semahal dokter, namun masih tetap bisa bersentuhan dengan pasien.
Aku senang memberikan konsultasi, diskusi mengenai orang yang sedang ingin menurunkan/menaikkan berat badan dan memperbaiki pola makannya. Meskipun badanku kurus, hehehe. Tapi maaf ini sudah perawakan dari ayahku. Jadi kau tidak bisa lagi bilang bahwa aku “kurang gizi” jika seandainya lihat sendiri porsi makanku seberapa.


Tidak mengapa saat ini aku bekerja di suatu perusahaan yang amat menuntutku untuk belajar hal baru. Meskipun sangat jauh dari bidang yang aku pelajari selama kuliah. Tapi, bukan berarti aku gak bisa. Hanya saja, butuh waktu yang tidak sebentar untuk beradaptasi dengan jobdesk dan lingkungan kerjanya.

Sedikit-sedikit aku mulai paham. Namun belum menguasai.
Sekedar sharing aja. Bekerja dengan jabatan yang jauh dari bidang bukanlah perkara yang mudah.
Seringkali aku keteran, dan lupa karena saking banyaknya pekerjaan itu. Ditambah lagi, belum lama aku kerja disana, baru sebulan. Alias belum ada apa-apanya. Sudah kucatat hal mengenai sistem dalam pekerjaan maupun suatu hal yang baru agar tidak lupa. Tapi masih tetap saja, aku sering sekali lupa. Belum selesai satu pekerjaan, sudah datang banyak pekerjaan lainnya.

Aku amat menyadari, bahwa aku sendiri belum bisa memanage pekerjaanku. Yang datangnya tidak hanya dari dalam. Tapi dari luar juga.
Sungguh berbeda dengan pekerjaanku waktu di Rumah Sakit (PKL).
Sesulit-sulitnya kendala saat itu, dengan tekanan dari kepala instalasi gizi tentunya. Aku masih bisa mengerti dan cepat paham. Dimana kesalahanku. Lantas, cepat memperbakinya hingga tuntas targetku tercapai.

Mungkin ini yang dinamakan tantangan. Dunia kerja itu amat keras. Tugas kuliah yang sulit, coretan skripsi belum ada apa-apanya. Terlebih aku bekerja tidak sesuai dengan latar pendidikanku.

Melalui hal ini, aku belajar. Bahwa semakin bertambahnya umur, semakin banyak ujian yang lebih berat dari-Nya. Sekarang, bagaimana caranya agar bisa sabar dan menjalani semuanya dengan ikhlas. Apapun masalahnya, bagaimana pun tekanannya. Ingat saja. Allah tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan hamba-Nya.
Namun, aku tetap bersyukur, bisa bergabung dalam perusahaan itu. Banyak ilmu dan nilai kehidupan yang bisa aku pelajari dari sana. Minimal aku juga sudah gak merepotkan orang tuaku lagi mengenai biaya. Aku akan tetap berusaha untuk belajar, lebih baik dari sebelumnya.

Walaupun ayahku masih produktif bekerja di suatu BUMN (Perusahaan Percetakan Uang). Sekarang saatnya kini aku menunjukkan kepada orang tuaku bahwa aku alhamdulillah sudah bisa mencari uang sendiri. Membuat mereka bangga.
Meskipun jasa mereka gak akan bisa penuh terbalaskan seumur hidup.

Teruntuk kedua orang tua terima kasih. Sudah mendoakanku disetiap shalat dan dzikirnya.
Tentunya aku sangat bersyukur mempunyai kedua orang tua  yang amat mengerti. Tidak menuntut aku harus kerja ini itu.
Doa mereka telah sampai dan diijabah oleh-Nya. Tanpa mereka aku tidak akan bisa jadi seperti ini. Jadi sekuat sekarang.

Sumber gambar : www.google.com

By :
Free Blog Templates