Aku, Lintang
Kusumadewi, terlahir dari keluarga berkecukupan, ayahku dosen di beberapa
universitas ternama di Bandung dan ibuku adalah seorang mantan pegawai bank
swasta di Yogyakarta. Jarak tidak bisa dijadikan alasan kedua insan tidak bisa
berjodoh. Meskipun ibuku lahir dan besar di Yogyakarta, dan ayahku lahir di
Bandung kemudian saat kuliah merantau ke Yogyakarta karena ingin mandiri, setelah itu kembali ke
kota asal, tidak bisa dipungkiri takdir telah mempertemukan mereka.
Terlahir menjadi
anak pertama dari 3 bersaudara membuatku tertekan,, ya tertekan untuk menjadi
pribadi yang bisa memberikan contoh yang baik untuk kedua adikku. Dituntut
harus mandiri dan dewasa. Tentunya, itu membutuhkan proses yang cukup panjang.
Menurutku,
gagal adalah suatu hal yang lumrah untuk menuju kesuksesan. Aku sudah mencoba ke perguruan tinggi negeri namun Allah tidak mengizinkannya. Yaa aku gagal diterima di kampus bergengsi di Bandung.Kemudian ayahku menyarankan untuk kuliah di
Universitas swasta di Jakarta, mengapa di Jakarta? tidak di Bandung saja? Orang
tuaku ingin aku merantau meskipun dalam hatiku belum siap untuk jauh dari
keluarga, tapi ku tekadkan niat demi menjadi mandiri dan dewasa. Aku tidak mau
terus – menerus menjadi anak yang selalu bergantung sama orang tua. Keluar dari
zona nyaman adalah satu – satunya cara untuk melatih mentalku agar menjadi
kuat.
Akhirnya, aku
jadi masuk Universitas swasta di Jakarta dengan mengambil S-1 jurusan Teknik
Kardiovaskuler. Gaya hidup disana memang serba mahal, dan pergaulan juga benar
– benar harus dijaga. Untungnya, aku bisa memilih teman mana kira – kira teman
yang memberikan dampak positif atau negatif dan semua aman – aman saja. Aku juga mempunyai pacar bernama Krisna tapi
berbeda kampus. Pertemuan antara aku dengannya terjadi ketika kami mulai satu
tempat kursus Bahasa Inggris di daerah sekitar kampusku.
***
Mempunyai
seorang sahabat yang bisa mengerti diriku adalah suatu anugrah yang patut ku
syukuri. Namanya Wina… Pertama kali ku mengenalnya saat masuk kuliah hingga
sekarang sudah semester 4 kami masih bersama. Sebenarnya bukan hanya Wina sahabatku
tapi ada juga Rosy dan Bahri. Mereka jarang bertemu denganku karena ada
beberapa mata kuliah yang jam kuliahnya berbeda, namun ketika libur kami
menyempatkan waktu untuk hangeout ke café murah di sekitar Jakarta walaupun
sebentar.
Selama kuliah
aku dan sahabat – sahabatku mempunyai kebiasaan buruk yaitu mencontek satu sama
lain ketika ujian. Dalam satu ruangan, kami duduk berdekatan, sehingga jika aku
memberikan contekan kepada Wina, dia langsung menyampaikan juga ke Rosy dan
Bahri. Kami sungguh tahu bahwa mencontek adalah perbuatan tercela, tapi jika
tidak begitu, maka kami dianggap tidak kompak. Terus terang, bukan aku
menyombongkan diri, aku memang unggul diakademik, indeks prestasiku selalu
meningkat tiap semester dan tidak pernah dibawah 3,50. Ditambah lagi aku orangnya tidak enakan sama teman,
apalagi jika mereka adalah sahabatku sendiri.
Ketika memasuki
semester 5, ada yang mengganjal dihatiku. Aku tidak bisa terus menerus
memberikan contekan kepada sahabatku… itu bukan suatu pertolongan melainkan
merugikan diri mereka sendiri. Nantinya mereka akan terus malas belajar, dan
selalu mengandalkan orang lain. Sempat terbesit dalam pikiranku, nanti ujian
naik semester 5 aku akan mengingatkan mereka untuk belajar rajin, dan akhirnya
aku melakukan itu. Mereka hanya mengiyakan saja, aku harap mereka benar – benar
serius belajar.
Saat ujian,
ternyata mereka masih saja meminta contekan kepadaku, namun aku bersikeras
untuk tidak menengok kanan kiri, tatapanku hanya lurus ke kertas ujian.
Disamping itu, pengawas juga lagi konsentrasi melihat ruangan sekitar. Sungguh,
aku mendengar Rosy sudah beberapa kali memanggilku namun tak ku gubris.
Alhasil, Wina dan Bahri juga ikut kebingungan saat itu. Pada saat keluar
ruangan, mereka bertiga langsung menegur diriku, sudah tidak heran aku pasti akan
mengahadapi situasi seperti ini. Rosy bilang, kenapa aku tidak mau memberikan
jawaban, dan aku minta maaf dan menjelaskan ini semua untuk kebaikan mereka dan
aku tidak mau terus - menerus tolong – menolong dalam kecurangan. Aku juga
bilang bahwa bersedia membantu mereka jika mengalami kesulitan dalam
pembelajaran mata kuliah.
Saat itu juga,
mereka langsung berubah sikap. Esok harinya, mereka mengacuhkanku, bahkan aku
berusaha mendekati tetapi mereka pergi. Sikap mereka yang sungguh tidak
mengenakkan itu berlangsung cukup lama.
To be continued ......