Naik, turun,
berkelok-kelok, rumit. Tiada yang lebih baik dari sebuah makian maupun hinaan
atas kehendak-Nya dengan tujuan untuk menguatkan hati.
Tidakkah
terpikirkan? Allah mengirim orang dzalim untuk menambah pahala kita. Lewat perantara
orang itu, jadilah pribadi yang bisa berbesar hati serta kuat.
***
Dari judul
aja emosional, apalagi tulisannya ya? Hehe. Warning !! Tulisan ini bukan untuk
menjelek-jelekkan siapapun, karena penulis tidak mencantumkan nama perusahaan, tokoh
dan tempat.
Berisi
tentang pengalaman nyata, terutama nih. Untuk freshgraduate
yang baru aja mau masuk kerja. Baca basmallah semoga bisa kerjasama dengan bos yang
professional dan lingkungan yang kondusif. Jangan pernah takut untuk ambil
keputusan yang berlainan dengan prinsip, karena kamu sendiri yang tau apa yang terbaik
untuk hidupmu. Langsung aja, detailnya sebagai berikut. Cekidot.
***
“Gimana sih
kamu gak ngerti-ngerti udah dikasih tau? Kamu g*blok, bego, otaknya taro dimana?”
Tidak hanya sekali, namun tiga kali dia mengatakannya.
Kata-kata tidak
berpendidikan itu. Sisanya, kata-kata biasa bernada sinis dan pastinya membuat
siapapun disana yang mendengarnya menjadi muak dan geram.
Kata-kata
itu terlontar begitu saja tanpa jeda sedikitpun dari perempuan itu.
Terjadi saat
aku masih bekerja di salah satu perusahaan finance mobil dan alat berat yang
cukup terkenal di Indonesia.
Lantas
mengapa? Lima bulan bekerja aku selalu merasa takut, dan seperti ada yang
mengganjal. Tapi apa? Mungkinkah karena makian atasan? Atau lingkungan
pertemanan yang tidak cocok? Ternyata setelah kutelusuri. Mengganjal bukan
semata-mata karena itu. Tapi karena hal lain yang berlainan dengan prinsip
hati.
Ya Allah,
maafkan hamba yang sok suci ini. Padahal kenyataannya samasekali tidak.
***
Lima bulan
bekerja disana bukanlah tanpa masalah. Bahkan hampir setiap hari, ada saja hal
yang membuatku “Ya elah, baru juga tenang dikit, kok ada lagi perkara”
Apa? Oh iya
seperti janjiku waktu itu. Aku ingin mendeskripsikan jobdeskku selama bekerja
disana.
Yaitu
mengurus permasalahan STNK dan BPKB mobil. Setiap harinya harus berhadapan
dengan hitungan, tak lepas dari komplain pelanggan dengan persoalan berbeda.
Tugasku yang
lainnya adalah mengambil BPKB dari dealer dan menginputnya kedalam system aplikasi
perusahaan, ppffttt sungguh harus diperlukan ketelitian yang mendalam.
Karena kalau
sampai salah, maka aku harus minta acc ke manager perihal maintenance atau perbaikan dari sistemnya. Kemudian diinput ulang.
Lantas, apa
yang membuatku berat? Well, setiap pekerjaan pasti ada saja tekanan. Entah dari
pelanggan, atasan maupun pihak luar. Seperti delaer. Aku diwajibkan untuk
menagih BPKB yang daftarnya sudah masuk di sistem namun belum “in”.
Suatu
kebanggan bukan? Bekerja di perusahaan sebesar itu? Namun kebanggan tidak menjadi tolok ukur. Kedamaian samasekali tidak kutemukan disana.
Jika kau berpikir,
aku bekerja maunya gak ada tekanan. Ya gak gitu juga. Melainkan, ada hal lain yang membuatku terganjal seiring
berjalannya waktu. Yaitu penawaran jaminan BPKB. Kegiatan tersebut sama halnya
seperti kita jualan jasa. Dimana kita menawarkan jasa menjaminkan BPKB ke
pelanggan yang nantinya akan jadi pemasukan perusahaan. Dengan pencairan sejumlah sekian dan
akan kredit sekian untuk beberapa tahun sesuai kesepakatan.
***
Mungkin bagi
beberapa orang enjoy it. Gak ada
masalah, fine-fine aja. Tapi aku?
NGGA.
Gak tau
kenapa, itu bertentangan sama hati. Menawarkan jasa ke pelanggan sama artinya
dengan deal pelanggan berhutang
berikut membayar bunga ke perusahaan.
Belum lagi,
jika pelanggan bermasalah dengan kreditnya sampai lewat tempo. Ditambah dia punya masalah, yang pasti tidak bisa kita maklumi dan saklek “pokoknya
kalau lewat tempo kena denda”, dan kalau sudah terlalu lama bisa berakibat
fatal yaitu penarikan kendaraan (disita).
Terlebih jika
kutahu pasti, dia adalah pelanggan yang dulu sempat aku tawarkan. Sampai kehilangan
hartanya, memohon kepada kolektor minta dikasih waktu lagi. Aku gak sanggup dengar
itu semua. Kalau kau pikir aku lebay, terserah. Tapi yang jelas, itu bukanlah
inginku. Walaupun dapat bonus lumayan, tapi tetap, hati berbicara begitu. Yasudah
mau diapakan lagi.
***
Loh kemudian,
kenapa aku harus ikut campur dengan penawaran kalau pekerjaanku hanyalah
sebagai admin?
Karena, bagi
perusahaan itu adalah sumbangsi. Memang bukan jobdesk utama, tapi yakali. Ga enak
juga kan udah kerja lama disana tapi belum bisa dapet pelanggan. Ada sedikit
minder juga.
Lebih baik,
mencari pekerjaan yang jauh dari penawaran peminjaman. Karena aku gak ahli
dibidang itu, gak sampai hati pula. Belum lagi jurusanku yang sangat jauh dari
pekerjaan itu.
Lebih suka
kerja happy, bisa bermanfaat untuk orang lain, walaupun harus dari bawah lagi.
Terutama secara
keuangan, yang kucari adalah berkah, nominal bisa didapat dari mana saja.
***
Balik lagi
ke judul “banting terus”. Hati digeber denger cacian yang membuatku sangat
muak.
Pernah saat
itu, salah seorang bosku membuat suatu perjanjian yang awalnya aku kira cuma main-main
atau bercandaan aja. “Siapa yang gak dapat pelanggan dalam waktu sebulan, maka
wajib teraktir di sebuah restoran”. Gak usah disebutin lah ya, yang jelas disana
mahal, apalagi buat makan 5 orang (1 team).
Restoran jepang,
masak sendiri disana, kalian pasti tau lah resto apa itu. Waktu, aku cuma ketawa-ketawa
aja, gak bilang setuju atau iya.
Tapi anehnya,
setiap briefing, dia selalu mengingatkan perihal teraktiran itu. Ya aku, diam
aja, karena memang dari awal nyangka it’s
just a kidding. But that’s not like that.
Dia
menegaskan kalau perjanjian itu gak main-main, melainkan sanksi untuk efek
jera. Biar semangat buat dapat pelanggan.
Well, itu bukan sanksi yang baik. Karena termasuk kedalam pemerasan,
jadi orang berlomba-lomba nawarin jasa biar gak neraktir gitu? That a f*ck idea for the new employee like
me. Itu yang dia mau. Dia selalu bilang kayak gitu, sering. Mungkin hampir tiap
briefing. Neraktir orang gak perlu ada sanksi begitu, kalau ada rezeki juga
pasti royal kok. Tapi gak ditempat mahal juga, itu gak etis banget, kecuali
kalo gaji gede banget baru ok.
***
Pada
akhirnya jatuh akhir bulan, dia masih tetap nagih perjanjian itu. Aku gagal
dapet pelanggan. Mereka puas menertawakan, dan berharap aku segera teraktir.
Okey, pada
saat itu juga aku ke ruang manager untuk membicarakan soal “bolehkan seorang
atasan, mengadakan perjanjian seperti itu?”. Note: di perusahaan itu gak ada
HRD nya (HRD di kantor pusat), jadi kalau ada apa-apa boleh langsung ke
manager.
Dia kaget.
Dia bilang, “siapa yang suruh?” Kamu jangan mau. Itu pemerasan, gak boleh. Kamu
rugi dua kali. Dapet bonus ngga, suruh teraktir pasti mahal banget apalagi
makan disana.
Aku cuma bisa
bercerita apa adanya tanpa menjelek-jelekkan si supervisor. Karena aku masih
menghormati dia sebagai atasan. Sekalian aku mengutarakan niatku untuk resign.
***
Akhirnya si
SPV dipanggil manager. Terpancar dari luar, mereka tengah berbincang. Manager
orang bijak, gak pernah marah membabi buta, kalau negur baik-baik.
Beberapa
hari kemudian. Aku dipanggil sama si SPV. Katanya jangan pulang dulu, mau
ngomong.
Oke, and
then?
Dia marah,
karena aku menceritakan perihal itu ke manager. Sudah kuduga.
Kenapa harus
marah? Dia mungkin malu. Gak nyangka, aku berani ngomong gitu, karena apa? Dia terus-terusan seenaknya nagih sambil
bilang itu gak main-main, bukan bercanda. Kan gak nyaman banget, masa harus
neraktir berlima gitu kan? Udah gitu mintanya di resto mahal lagi. Mendingan
juga buat neraktir keluarga sendiri.
Dia marah,
katanya cuma bercanda. Loh terus apa maksudnya hampir setiap briefing
nagih-nagih? Bukannya dia mampu beli sendiri? Apalagi gajiku ga ada apa-apanya
dibandingkan dengan dia.
Tapi dia
ngeles, katanya aku licik. Bisa bilang gitu ke manager. Hatiku hampa, udah gak
ada rasa teringgung lagi, biasa aja gitu ngadepin dia. Paling cuma geli aja
sama perilakunya yang seperti itu. Sudah salah, tidak mau bijak, malah balik
menghina.
***
Dia sampai
gebrak meja, matanya menatap tajam. Nanya kenapa mau resign. Ya aku jelasin
alasannya. Sambil bilang, “mohon maaf bu, ibu kalau sama orang emang sikapnya
kayak gitu ya? Suka ngomong kasar? Emang gak bisa bu ngomong baik?” Dia bilang,
“itu emang cara saya, orang gak suka ya terserah”. Ok aku rasa, dia emang orang
gak mau menerima kritikan, dan masukan. Padahal menghadapi masalah/kesalahan
anak buah ga harus pakai emosi. Yang ada orang jadi malas dengernya. Apalagi suka
maki-maki, yaampun. Emang ya orang sarjana mau magister, doktor ga menjamin
orang itu berpendidikan terlebih secara emosional. Gak bisa kontrol emosi dan enggan belajar
menjadi lebih baik. Yang ada
dipikirannya, “Saya Boss!! Mereka harus nurut sama saya” Gak peduli dengan apa
yang dialami sama anak buahnya.
Katanya sih
buat nguatin mental dia bilang. Halah, tanpa di galakkin juga mental udah
terbentuk sendiri dengan adanya tekanan kerjaan, omelan pelanggan dsb. Kalau mau
marah, pakai cara elegan, jangan norak. Mental
dijadikan alasan untuk bertindak semena-mena. Belom kalau karyawannya dendam,
repot deh urusannya. Untung aku baik hehehe jailah.
***
Detik-detik
terakhir, mau resign. Aku ngerjain stock
opname. Bpkb berjumlah delapan ribuan. Dan yang bikin aku gak habis pikir
itu apa?
Lemburanku
gak di acc sama si SPV. Gak tau, apa karena dia dendam. Apa gimana, sampai
mempersulit hak karyawan. Bilangnya
sih udah acc, tapi pas diliat di system, kok masih nge-gantung? Pas mau protes
dia buru-buru mau pergi dan nyalahin katanya aku belum ngajuin. Yasudah cukup tau aja, semoga dia cepet dapet
teguran. Aamiin.
***
Tapi
bagaiaman pun juga, harus berterima kasih sama manusia satu itu. Karena kalau
dia gak gitu, aku pasti masih kerja disana. Gak akan di Rumah Sakit seperti
sekarang.
Kalau terus bekerja disana sudah pasti bakalan
terlena dengan uang dan terjerat dengan perasaan bersalah terhadap pelanggan.
Jangan
pernah takut bertindak kalau ada hal yang gak benar, harus berani. Risiko dibenci?
Itu biasa. Mudah-mudahan kita bisa jadi orang yang lebih kuat lagi ;) Karena badai
akan selalu siap menghadang dimana pun kita berada.
Picture source : google.com always :D
~~~