Saturday 14 September 2019

Banting Terus


Naik, turun, berkelok-kelok, rumit. Tiada yang lebih baik dari sebuah makian maupun hinaan atas kehendak-Nya dengan tujuan untuk menguatkan hati.
Tidakkah terpikirkan? Allah mengirim orang dzalim untuk menambah pahala kita. Lewat perantara orang itu, jadilah pribadi yang bisa berbesar hati serta kuat.
***
Dari judul aja emosional, apalagi tulisannya ya? Hehe. Warning !! Tulisan ini bukan untuk menjelek-jelekkan siapapun, karena penulis tidak mencantumkan nama perusahaan, tokoh dan tempat.
Berisi tentang pengalaman nyata, terutama nih. Untuk freshgraduate yang baru aja mau masuk kerja. Baca basmallah semoga bisa kerjasama dengan bos yang professional dan lingkungan yang kondusif. Jangan pernah takut untuk ambil keputusan yang berlainan dengan prinsip, karena kamu sendiri yang tau apa yang terbaik untuk hidupmu. Langsung aja, detailnya sebagai berikut. Cekidot.
***
“Gimana sih kamu gak ngerti-ngerti udah dikasih tau? Kamu g*blok, bego, otaknya taro dimana?” Tidak hanya sekali, namun tiga kali dia mengatakannya.
Kata-kata tidak berpendidikan itu. Sisanya, kata-kata biasa bernada sinis dan pastinya membuat siapapun disana yang mendengarnya menjadi muak dan geram.
Kata-kata itu terlontar begitu saja tanpa jeda sedikitpun dari perempuan itu.
Terjadi saat aku masih bekerja di salah satu perusahaan finance mobil dan alat berat yang cukup terkenal di Indonesia.
Lantas mengapa? Lima bulan bekerja aku selalu merasa takut, dan seperti ada yang mengganjal. Tapi apa? Mungkinkah karena makian atasan? Atau lingkungan pertemanan yang tidak cocok? Ternyata setelah kutelusuri. Mengganjal bukan semata-mata karena itu. Tapi karena hal lain yang berlainan dengan prinsip hati.
Ya Allah, maafkan hamba yang sok suci ini. Padahal kenyataannya samasekali tidak.
***
Lima bulan bekerja disana bukanlah tanpa masalah. Bahkan hampir setiap hari, ada saja hal yang membuatku “Ya elah, baru juga tenang dikit, kok ada lagi perkara”
Apa? Oh iya seperti janjiku waktu itu. Aku ingin mendeskripsikan jobdeskku selama bekerja disana.
Yaitu mengurus permasalahan STNK dan BPKB mobil. Setiap harinya harus berhadapan dengan hitungan, tak lepas dari komplain pelanggan dengan persoalan berbeda.
Tugasku yang lainnya adalah mengambil BPKB dari dealer dan menginputnya kedalam system aplikasi perusahaan, ppffttt sungguh harus diperlukan ketelitian yang mendalam.
Karena kalau sampai salah, maka aku harus minta acc ke manager perihal maintenance atau perbaikan dari sistemnya. Kemudian diinput ulang.
Lantas, apa yang membuatku berat? Well, setiap pekerjaan pasti ada saja tekanan. Entah dari pelanggan, atasan maupun pihak luar. Seperti delaer. Aku diwajibkan untuk menagih BPKB yang daftarnya sudah masuk di sistem namun belum “in”.
Suatu kebanggan bukan? Bekerja di perusahaan sebesar itu? Namun kebanggan tidak menjadi tolok ukur. Kedamaian samasekali tidak kutemukan disana.
Jika kau berpikir, aku bekerja maunya gak ada tekanan. Ya gak gitu juga. Melainkan,  ada hal lain yang membuatku terganjal seiring berjalannya waktu. Yaitu penawaran jaminan BPKB. Kegiatan tersebut sama halnya seperti kita jualan jasa. Dimana kita menawarkan jasa menjaminkan BPKB ke pelanggan yang nantinya akan jadi pemasukan perusahaan. Dengan pencairan sejumlah sekian dan akan kredit sekian untuk beberapa tahun sesuai kesepakatan.
***
Mungkin bagi beberapa orang enjoy it. Gak ada masalah, fine-fine aja. Tapi aku? NGGA.
Gak tau kenapa, itu bertentangan sama hati. Menawarkan jasa ke pelanggan sama artinya dengan deal pelanggan berhutang berikut membayar bunga ke perusahaan.
Belum lagi, jika pelanggan bermasalah dengan kreditnya sampai lewat tempo. Ditambah dia punya masalah, yang pasti tidak bisa kita maklumi dan saklek “pokoknya kalau lewat tempo kena denda”, dan kalau sudah terlalu lama bisa berakibat fatal yaitu penarikan kendaraan (disita).
Terlebih jika kutahu pasti, dia adalah pelanggan yang dulu sempat aku tawarkan. Sampai kehilangan hartanya, memohon kepada kolektor minta dikasih waktu lagi. Aku gak sanggup dengar itu semua. Kalau kau pikir aku lebay, terserah. Tapi yang jelas, itu bukanlah inginku. Walaupun dapat bonus lumayan, tapi tetap, hati berbicara begitu. Yasudah mau diapakan lagi.
***
Loh kemudian, kenapa aku harus ikut campur dengan penawaran kalau pekerjaanku hanyalah sebagai admin?
Karena, bagi perusahaan itu adalah sumbangsi. Memang bukan jobdesk utama, tapi yakali. Ga enak juga kan udah kerja lama disana tapi belum bisa dapet pelanggan. Ada sedikit minder juga.

Lebih baik, mencari pekerjaan yang jauh dari penawaran peminjaman. Karena aku gak ahli dibidang itu, gak sampai hati pula. Belum lagi jurusanku yang sangat jauh dari pekerjaan itu.
Lebih suka kerja happy, bisa bermanfaat untuk orang lain, walaupun harus dari bawah lagi.
Terutama secara keuangan, yang kucari adalah berkah, nominal bisa didapat dari mana saja.
***
Balik lagi ke judul “banting terus”. Hati digeber denger cacian yang membuatku sangat muak.
Pernah saat itu, salah seorang bosku membuat suatu perjanjian yang awalnya aku kira cuma main-main atau bercandaan aja. “Siapa yang gak dapat pelanggan dalam waktu sebulan, maka wajib teraktir di sebuah restoran”. Gak usah disebutin lah ya, yang jelas disana mahal, apalagi buat makan 5 orang (1 team).
Restoran jepang, masak sendiri disana, kalian pasti tau lah resto apa itu. Waktu, aku cuma ketawa-ketawa aja, gak bilang setuju atau iya.
Tapi anehnya, setiap briefing, dia selalu mengingatkan perihal teraktiran itu. Ya aku, diam aja, karena memang dari awal nyangka it’s just a kidding. But that’s not like that.
Dia menegaskan kalau perjanjian itu gak main-main, melainkan sanksi untuk efek jera. Biar semangat buat dapat pelanggan.
Well, itu bukan sanksi yang baik. Karena termasuk kedalam pemerasan, jadi orang berlomba-lomba nawarin jasa biar gak neraktir gitu? That a f*ck idea for the new employee like me. Itu yang dia mau. Dia selalu bilang kayak gitu, sering. Mungkin hampir tiap briefing. Neraktir orang gak perlu ada sanksi begitu, kalau ada rezeki juga pasti royal kok. Tapi gak ditempat mahal juga, itu gak etis banget, kecuali kalo gaji gede banget baru ok.
***
Pada akhirnya jatuh akhir bulan, dia masih tetap nagih perjanjian itu. Aku gagal dapet pelanggan. Mereka puas menertawakan, dan berharap aku segera teraktir.
Okey, pada saat itu juga aku ke ruang manager untuk membicarakan soal “bolehkan seorang atasan, mengadakan perjanjian seperti itu?”. Note: di perusahaan itu gak ada HRD nya (HRD di kantor pusat), jadi kalau ada apa-apa boleh langsung ke manager.
Dia kaget. Dia bilang, “siapa yang suruh?” Kamu jangan mau. Itu pemerasan, gak boleh. Kamu rugi dua kali. Dapet bonus ngga, suruh teraktir pasti mahal banget apalagi makan disana.
Aku cuma bisa bercerita apa adanya tanpa menjelek-jelekkan si supervisor. Karena aku masih menghormati dia sebagai atasan. Sekalian aku mengutarakan niatku untuk resign.
***
Akhirnya si SPV dipanggil manager. Terpancar dari luar, mereka tengah berbincang. Manager orang bijak, gak pernah marah membabi buta, kalau negur baik-baik.
Beberapa hari kemudian. Aku dipanggil sama si SPV. Katanya jangan pulang dulu, mau ngomong.
Oke, and then?
Dia marah, karena aku menceritakan perihal itu ke manager. Sudah kuduga.
Kenapa harus marah? Dia mungkin malu. Gak nyangka, aku berani ngomong gitu, karena apa? Dia terus-terusan seenaknya nagih sambil bilang itu gak main-main, bukan bercanda. Kan gak nyaman banget, masa harus neraktir berlima gitu kan? Udah gitu mintanya di resto mahal lagi. Mendingan juga buat neraktir keluarga sendiri.
Dia marah, katanya cuma bercanda. Loh terus apa maksudnya hampir setiap briefing nagih-nagih? Bukannya dia mampu beli sendiri? Apalagi gajiku ga ada apa-apanya dibandingkan dengan dia.
Tapi dia ngeles, katanya aku licik. Bisa bilang gitu ke manager. Hatiku hampa, udah gak ada rasa teringgung lagi, biasa aja gitu ngadepin dia. Paling cuma geli aja sama perilakunya yang seperti itu. Sudah salah, tidak mau bijak, malah balik menghina.
***
Dia sampai gebrak meja, matanya menatap tajam. Nanya kenapa mau resign. Ya aku jelasin alasannya. Sambil bilang, “mohon maaf bu, ibu kalau sama orang emang sikapnya kayak gitu ya? Suka ngomong kasar? Emang gak bisa bu ngomong baik?” Dia bilang, “itu emang cara saya, orang gak suka ya terserah”. Ok aku rasa, dia emang orang gak mau menerima kritikan, dan masukan. Padahal menghadapi masalah/kesalahan anak buah ga harus pakai emosi. Yang ada orang jadi malas dengernya. Apalagi suka maki-maki, yaampun. Emang ya orang sarjana mau magister, doktor ga menjamin orang itu berpendidikan terlebih secara emosional. Gak bisa kontrol emosi dan enggan belajar menjadi lebih baik.  Yang ada dipikirannya, “Saya Boss!! Mereka harus nurut sama saya” Gak peduli dengan apa yang dialami sama anak buahnya.
Katanya sih buat nguatin mental dia bilang. Halah, tanpa di galakkin juga mental udah terbentuk sendiri dengan adanya tekanan kerjaan, omelan pelanggan dsb. Kalau mau marah, pakai cara elegan, jangan norak.  Mental dijadikan alasan untuk bertindak semena-mena. Belom kalau karyawannya dendam, repot deh urusannya. Untung aku baik hehehe jailah.
***
Detik-detik terakhir, mau resign. Aku ngerjain stock opname. Bpkb berjumlah delapan ribuan. Dan yang bikin aku gak habis pikir itu apa?
Lemburanku gak di acc sama si SPV. Gak tau, apa karena dia dendam. Apa gimana, sampai mempersulit hak karyawan. Bilangnya sih udah acc, tapi pas diliat di system, kok masih nge-gantung? Pas mau protes dia buru-buru mau pergi dan nyalahin katanya aku belum ngajuin. Yasudah cukup tau aja, semoga dia cepet dapet teguran. Aamiin.
***
Tapi bagaiaman pun juga, harus berterima kasih sama manusia satu itu. Karena kalau dia gak gitu, aku pasti masih kerja disana. Gak akan di Rumah Sakit seperti sekarang.
Kalau  terus bekerja disana sudah pasti bakalan terlena dengan uang dan terjerat dengan perasaan  bersalah terhadap pelanggan.
Jangan pernah takut bertindak kalau ada hal yang gak benar, harus berani. Risiko dibenci? Itu biasa. Mudah-mudahan kita bisa jadi orang yang lebih kuat lagi ;) Karena badai akan selalu siap menghadang dimana pun kita berada. 

Picture source : google.com always :D


~~~

By :
Free Blog Templates