Saturday 23 May 2020

Besar atau Berkah?


Allah memberikan apa yang manusia butuhkan, bukan berdasarkan apa yang manusia inginkan.
Mungkinkah kita memiliki keduanya? Sangat mungkin. Tapi Allah bilang, kamu cukup dengan rezeki segitu,  masih ada ujian lagi untukmu.  Doorrrr…
Jangan bilang, kenapa sih rezeki dia lebih bagus dari aku?
Kok dia bisa punya banyak uang sedangkan aku?
Buang jauh-jauh rasa membandingkan keadaan diri sendiri dengan orang lain.
Apa yang mereka punya, itu semua adalah  titipan/ujian dari-Nya.
Memang in the real life  tak bisa sebijak teory, tapi setidaknya kata-kata ini mampu membantu kamu supaya ingat bahwa Allah memberikan rezeki sudah dengan porsinya masing-masing.
***
Dulu sempat menduga bahwa gaji besar adalah sesuatu yang didapat dengan susah payah, penuh dengan perjuangan. Bahkan sampai harus bekerja bertahun-tahun dulu baru bisa mendapatkannya.
Sebagian dugaan benar, sisanya keajaiban Allah.
Aku punya bocoran untuk kalian yang mungkin se-jurusan dengan ku yaitu kesehatan. Apabila kalian menginginkan untuk menjadi jutawan dalam sekejab, kejarlah kegiatan penelitian terutama dari pemerintah. Contoh : Riset Kesehatan Dasar, Riset Fasilitas Kesehatan, Riset Tenaga Kesehatan, atau kalo kalian cukup punya nyali yang terlampau berani bisa ikut Nusantara Sehat, dan masih banyak lagi.

Habisi rekrutment dari dinkes di daerah kalian. Setelah keterima seleksi dan bekerja terus dapat honor kalian pasti merasakan “WAH” bisa megang uang sebanyak itu. Freshgraduate gituuu. Kemudian membuat saudara/teman kalian terbengong-bengong.  Maaf bukannya untuk pamer, tapi pasti orang bertanya, “kerja dimana dik” dan kalianpun menceritakan keaslian kegiatan kalian berikut pertanyaan merembet lainnya seputar gaji.
Walaupun sebetulnya, itu adalah privasi. Nominal sangat sensitive. Gaji besar bisa membuat mereka iri, gaji kecil akan membuat mereka menertawakan. Tapi bukan itu pointnya. Melainkan bagaimana kita pandai mengelola uang yang sudah didapat dari jerih payah kita.          
Gaji besar dan berkah : Kerja happy, walau ada target dan             tekanan. Nominal “WAH”. Hasilnya bermanfaat. Apapun yang dipengen pasti kebeli.
Contoh : Pernah mengikuti kegiatan penelitian dari kemenkes RI,     
kontrak sebulan dan dibayar 11,5 juta bertahap, 1 minggu pertama  3 juta dst.
Kebetulan mendekati puasa, jadi pas dapet honor, berasa “GILA” makin gak nyangka bisa ikut kegiatan kayak gini, kalau gitu gak usah kerja rutin, ikut aja freelance bgni pikir saya (biar cepet tajir).
Auto otw beli skin care yang 1 paket 400 ribuan, terus bagi-bagi THR ke saudara karena ada rasa bangga juga. Baju lebaran kepakai 1 juta, di store langganan. Semua keinginan, jajan, barang, wah cincai pokoknya. Gak pakai mikir seribu kali. Tapi tak lupa untuk menyisihkan di ATM untuk ditabung.
Kenang-kenangan terindah gaji besar yang pernah saya terima berujung kebahagiaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Seleksinya lumayan banyak saingan, sebelum bekerja, kita dilatih + materi dulu di hotel selama  9 hari. Maka dari itu beruntung saya bisa bergabung dalam Riset Kesehatan Dasar 2018.
  
   Gaji besar kurang Berkah : Gaji besar tidak sebanding dengan keikhlasan. Maksudnya, keikhlasannya gak ada tapi gaji besar. Pasti gak enak banget. Artinya kamu gak happy, merasa bersalah, gak tenang macem-macem deh.
Contoh : Saya pernah kerja di perusahaan leasing besar, gaji perbulan 5 juta’an. Tapi setiap hari gak pernah tenang karena apa? Saya terseret-seret disuruh marketing juga (penawaran jaminan pinjaman/hutang ke orang). Itu pekerjaan yang paling saya gak suka. Karena saya orangnya gak tegaan. Makanya saya gak pernah serius untuk gaet customer. Biarin gak dapat bonus, jadi omongan bos pun sudah lumrah. Kepikiran kerjaan sampai rumah udah jadi makanan sehari-hari. Selain itu apa yang terjadi? Gaji 5 juta harusnya bisa saya tabung. 1 juta untuk kebutuhan pribadi saya, sisanya masuk ATM. Tapi mana? Sebulan saya habis 3 juta. Padahal saya bukan tipikal orang yang boros. Itu buat apa aja? Saya jarang nongkrong ataupun beli barang-barang mahal juga. Paling untuk jajan makanan, skincare juga standar. Kemudian laptop saya rusak terkuraslah tabungan saya untuk membeli laptop baru (dari sisa gaji disana), besok-besoknya blender dapur di tempat kerja saya yang baru (Rumah Sakit) rusak dan saya wajib menggantinya. Perlahan-lahan harta saya bekas gaji disana telah dibersihkan.
Entahlah, saya rasa Allah telah menegur saya supaya saya segera mencari pekerjaan yang lebih baik, lebih jelas dan anti kontroversi kehalalannya. #bagi yang paham aja. Walaupun saat itu tidak perlu menunggu waktu lama untuk saya resign karena sudah dapat pekerjaan baru yaitu menjadi Ahli Gizi di Rumah Sakit, sesuai dengan pendidikan saya.
 
   Gaji kecil namun Berkah : Happy menjalaninya, gaji cukup untuk kebutuhan sehari-hari, hidup damai dan tenang.
Contoh 1 : Kerja di Rumah Sakit daerah kabupaten Bekasi yang masih dekat dengan Karawang (rumah saya), gaji dibawah UMR, jauh sekali dari gajiku sebelumnya, separuhnya 5 juta. Bisa bayangin kan? Tapi Alhamdulillah cukup untuk keperluan pribadi, karena makan masih sama orang tua. Sisanya masih bisa ditabung sekitar 500 ribu-1 jutaan. Hidup saya damai tanpa beban mikirin yang engga-engga.
Kemudian, sudah 7 bulan bekerja saya memutuskan untuk resign dari RS itu dan kemudian kerja di luar kota (Kota Bekasi) karena ada sesuatu yang tidak bisa saya tolerir lagi, keuangan RS collapse sehingga gajian sering terlambat hingga terparah 2 minggu baru gajian dan saya bertekad mencari pekerjaan yang manajemen dan pengadaannya lebih baik lagi.
Contoh 2 : Bekerja di RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak) daerah Kota Bekasi tidak seburuk yang teman-teman saya pikirkan. Katanya gajinya harus lebih besar dari RS yang lama, karena untuk menutupi biaya hidup yang tidak murah.
Tapi setelah dijalani, mau tahu gaji saya tiga bulan pertama di tempat baru? Hanya 2 juta. Itu harus ke cover untuk bayar kontrakan, makan dan kebutuhan pribadi saya. Tapi bisa? Bisa. Ke cover? Alhamdulillah. Kuncinya : Hidup prihatin. Prihatin bukan berarti gak makan ya. Tapi pintar menimbang-nimbang mana yang perlu, mana yang kurang penting. Sehingga saya tidak pernah sedikitpun minta transfer ke orang tua, karena malu. Harusnya sudah kerja itu memberi bukan meminta. Masyaallah, rezeki itu dari mana saja. Bukan saja dari gaji, tapi dari orang lain, tiba-tiba kasih makanan, tiba-tiba  kasih apa. Sehingga gak perlu pusing mikirin gak punya uang.
Paling kalau mentok uangnya sisa sedikit, gak usah jajan banyak” dulu yang penting bisa makan berat. Dan gak kebanyakan nongkrong/shopping.
Jujur, saya gak pernah shopping barang mahal di mall, baju saja saya beli di toko yang murmer itupun untuk ganti-ganti buat kerja. Saya pun masih bisa membeli beberapa buku bacaan yang saya sukai.
Lewat dari 3 bulan, gaji saya menjadi 2,5 sampai tertinggi 3 juta pas. Tergantung jumlah hari kerja.
Memang masih dibawah UMR, tapi jujur saya merasa sangat terlatih membiayai hidup sendiri, sehingga masih ada yang saya sisihkan untuk menabung sebesar 1-1,5 juta perbulan. Yang kata calon saya, nabungnya kebanyakan, jangan sampai gak makan, karena dia tahu gaji saya kecil dibandingkan dengan perusahaan atau kantoran. Padahal Alhamdulillah tercukupi untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan bisa nabung. Terus kalau pulang ke rumah, kasih uang jajan ke adik (pas gajian) Kunci keberkahan adalah jangan suka foya-foya, berhemat dan bersyukur. Gak perlu ngoyo ngiri dengan teman-teman yang jalan sana sini. Dijamin, Insyaallah hidup berkah jauh dari kemudharatan, dan nyaman dihati.

#Menabunglah selagi masih ada penghasilan, sehingga nanti bisa dipakai untuk modal usaha, dan berguna juga untuk keadaan urgent
#Kalau masih ada tanggungan, masih membantu orang tua atau adik sekolah, jangan berkecil hati. Berkahmu ada di dalam hidup mereka selamanya. Walaupun belum punya tabungan, yakinlah rezeki akan datang dari mana saja
#Berapapun gajimu, syukuri dan nikmati karena berkah bukanlah dari seberapa besar gaji tapi tentang bagaimana cara kamu mensyukuri hidup

Saya senang melihat teman-teman saya bisa travelling, punya make up mahal dan jalan-jalan. Tapi saya tidak iri/kepengen harus seperti itu juga. Karena saya sudah pernah merasakan gaji dengan nominal yang sungguh besar dan ternyata tidak memengaruhi saya untuk ngoyo, pengen kesana kemari, atau berfoya-foya.  Pada dasarnya itu bukan kepribadian saya. Saya dilahirkan dari seorang ibu rumah tangga (mantan wanita karir) sedangkan ayah saya pegawai tetap di salah satu percetakan uang/BUMN, namun seumur-umur saya dan kedua adik saya selalu diajarin hidup berhemat, dan Alhamdulillah kami tidak pernah neko-neko ataupun menyusahkan orang tua.

#pelajaran hidup berharga

Saturday 2 May 2020

Cinta setelah Cita-cita


Pro kontra pacaran ketika sudah kuliah.
Kukira rasa penasaranku sudah berakhir. Rasanya ingin tahu pacaran seperti apa, kayak orang-orang, ada teman belajar bareng, bisa seru-seruan bareng dsb. Tapi nyatanya mamaku masih belum deal melepaskan aturannya itu.
Doktrin pun berbeda ketika aku masih sekolah.
Saat kuliah mamaku menegaskan, kalau aku pacaran. Khawatir laki-laki hanya memanfaatkanku saja. Yang artinya hanya main-main tanpa tujuan yang jelas.
Doktrin itu pun membuatku penasaran apa maksud detailnya.
Mama bilang, “Mba sekarang pikir deh, kalau kamu pacaran, jalan-jalan kesana kemari, sama laki-laki, terus orang-orang lihat kamu, apa pandangan mereka? Si adel kan pacaran sama si itu, ah gue segan mau temenan sama dia takut pacarnya marah”
Pergaulan kamu terbatas, sedangkan pada masa-masa itu kamu perlu teman yang banyak, supaya menambah wawasan. Kamu gak mau kan, nanti dikekang kalau punya pacar.
Well, menurutku gak semua laki-laki kayak gitu, itu mah yang posesif aja. Tapi perkataan mama ada benarnya juga. Karena walaupun gak diungkapkan, bisa aja si cowok menyimpan perasaan tidak enak kepada cewenya. Jadi timbulah cemburu nanti lama-lama sakit sendiri.
“Ditambah lagi, kalau kamu putus sama dia, itu si adel kan mantannya ini, dulu suka gini gitu. Meskipun kamu gak pernah macem-macem sama dia, bukan menutup kemungkinan kamu dicap jelek oleh teman-temannya” Karena kita gak pernah tau apa yang diomongin mantan pacar setelah putus. Apalagi posisi dia sakit hati, padahal sebenarnya dia yang brengsek. Begitu kira-kira.
***
Ketahuilah sobat. Orang tua melarang bukan semata-mata tanpa alasan. Pastilah ada sebab akibat yang akan ditimbulkan apabila kita tidak mengindahkan nasihatnya.
Aku tahu dan mengerti sekali ada juga orang tua yang membebaskan anaknya untuk melakukan apa saja termasuk pacaran dengan dalih “yang penting yang wajar aja, gak berlebihan”, itu terserah. Pola asuh pasti berbeda gak mungkin  semua sama. Tapi coba kita lihat dari sisi manfaat. Apakah pacaran selama sekolah memberikan banyak manfaat?
“Seseorang yang kita suka dapat memberikan energy dan semangat, apalagi jika dia selalu ada disisi kita”
Apakah kebahagiaan kita tergantung dengan orang lain?
Apalagi statusnya masih sekedar pacar yang belum tentu nanti pada suatu hari dia akan mutlak menjadi jodoh kita atau kandas.
Mama selalu bilang, bahagia kita bukan tergantung sama gebetan/pacar. Tapi kita ciptakan sendiri. Memangnya kurang apalagi kasih sayang orang tua untuk memotivasi anaknya? Sampai harus membenarkan pacaran dapat memberikan semangat. Mungkin iya, setiap hari terasa indah bagi kami yang menjalani. Tapi doktrin itu selalu berjalan diotakku. Bahwa pacaran dimasa sekolah adalah suatu hal yang dapat mengecewakan mama dan papa.


Harapan mereka yang bergitu besar, ingin aku menjadi orang berguna, pintar, lulus dengan hasil yang baik dan sebagainya, tanpa embel-embel seseorang dibalik itu. Mereka hanya ingin dianggap sebagai satu-satunya penyemangat hidup sang anak.
Bahagia seorang anak bersama orang lain akan ada waktunya ketika menikah. Mendapatkan suami/istri yang baik.
Jauh sebelum ada rencana menikah, aku mengubur harapan dalam-dalam karena mama dan papa tidak akan mungkin kasih izin untuk pacaran.
Pendekatan terhadap lelaki boleh, tapi gak boleh serius dulu sebelum aku bekerja dan mempunyai uang sendiri serta ada laki-laki yang sungguh-sungguh ada niat baik.
***
Dari sekian pengalaman diatas dapat kita ambil hikmah disini. Aku merasakan banyak sekali keuntungan karena selalu mendengarkan nasihat orang tua.
Pertama, proses belajarku tidak pernah terganggu, walaupun dulu pernah disakiti oleh lelaki, tidak ada istilah semangat belajarku turun karenanya.
Kedua, terhindar dari lelaki pembohong dan PHP. Jaman sekarang cowok pengennya dekat-dekat saja tapi gak jelas arah tujuan hubungan mau kemana. Itu salah satu hal mengapa mamaku mendukung sekali aku menjauhi laki-laki seperti itu, karena tidak jelas, dan lagi-lagi kutegaskan “aku bukan tempat singgah untuk bermain-main saja” 
Ketiga, sembari menunggu jodoh yang tepat, aku dimotivasi mama untuk selalu memperbaiki diri dan fokus pada pekerjaan.
Keempat, ketika ada laki-laki yang mendekat, aku bisa menahan perasaan/gak cepet baper. Karena bagiku penting untuk mengenal karakter beserta kekurangannya.
Kelima, ketika laki-laki itu sudah serius denganku. Aku dapat menerima dia dengan sepenuh hati tanpa beban dan terbayang-bayang dengan masa lalu/gak bisa move on. Karena aku gak punya kenangan manis dengan seseorang sebelumnya, dan aku tidak pernah melakukan perbuatan macam-macam dengan lawan jenis. (Alhamdulillah sekarang udah lamaran dan beberapa bulan lagi kami akan menikah.
     Memang selalu ada jalan bagi kita yang mempunyai kemauan keras serta menuruti segala sesuatu nasihat yang baik dari orang tua. Jalanilah, sehingga kamu tidak akan pernah menyesal ;)

Dibalik sebuah Penantian


Pernahkan kamu berpikir, kapan waktu yang tepat untuk menjalin sebuah hubungan?
Sekedar suka? Wajar.
Disini tidak akan ada bahasan yang mengandung konteks keagamaan melainkan perlukah mempunyai hubungan sebelum waktunya?
Maka akan kuulas disini menurut versiku. Kalau kamu punya versi yang lain boleh, komen dibawah ya. Bebas. Kalau pro denganku berarti kita sejalan, tapi kalau kontra? Tenang …. Ini tentang sebuah pemikiran dan bukan berarti harus selalu sama kan?
Baik, maksudku menyampaikan narasi ini yaitu untuk berbagi pengalaman berdasarkan apa yang aku rasakan sedari kecil – masa sekolah – kuliah sampai sekarang (bekerja). Beserta pola asuh orang tuaku yang membentuk dan menjadikanku seseorang dengan pribadi seperti ini.
***
Adel merupakan seorang gadis penurut anak pertama dari 3 bersaudara. Semua nasihat dan larangan hampir jarang ada yang gak dipatuhin. Terkecuali : minum es. Karena dari kecil emang susah banget buat ngilangin ngga minum air es. Hahaha.


Sedari kecil sering liat teman suka-sukaan sama lawan jenis. Ya gapapa sih. Toh mereka kayak masih malu-malu gitu kan. Ya jadi biasa aja, aku pun juga pernah.
Mulai SMP, sedikit ngerti tentang pacaran itu apa. Yaitu keterikatan hubungan antar lawan jenis. Kamu milik aku, dan aku milik kamu.
Banyak banget yang pacaran waktu SMP, serasa mereka keren dan aku ngenes banget. Kayak gak ada yang mau, apa karena jelek ya. Whatever.


Setelah itu mulailah kepo nanya-nanya ke mama. “Mah, si ini punya pacar, ganteng lohh, temen sekolah juga”. Biarin, kamu gak usah ikut-ikutan dia.
Pacaran tuh gak baik mba, apalagi kamu masih sekolah, udah belajar aja yang benar.
Seperti itulah respon mamaku, saat aku bercerita tentang temanku yang berpacaran. Jadi dalam mindsetku pacaran itu benar-benar buruk. Dan sebisa mungkin aku hanya ingin bergaul dengan teman yang gak punya pacar juga.
Bukannya takut iri ya. Tapi gak tau kenapa kayak yang gimana gitu kalo punya teman tapi dia pacaran mulu. Risih. Dan di dalam mindsetku cewek yang punya pacar pada waktu sekolah adalah cewek centil. Dan disitu aku merasa cewe yang gak centil dan cupu. Karena saking gak pernah deket sama cowo pada waktu SMP.
Dan benar saja aku berteman dengan cewe-cewe jomblo, dan kita kalau main membahas tentang apapun, suka sama cowo aja bareng-bareng hahaha. Jadi kita suka sama cowo yang sama. Tapi kita anggap itu just for fun bukan buat pacaran.

Alhamdulillah selama SMP aku tidak goyah sama sekali jadi gak ada yang namanya backstreet, diam-diam berpacaran dengan siapa gitu. Karena saking kuatnya doktrin mamaku ke dalam otakku. Sampai ingin melanggar aja aku ciut tak ada keberanian sama sekali. Saking takut akan dampaknya pacaran yang sudah diuraikan oleh mamaku.
***
Loh tapi gimana, aku bisa patuh sama doktrin itu, padahal terkesan sepele hanya lewat kata-kata saja?
Pertama, mama menegaskan aku gak akan pernah diizinkan pacaran selama sekolah. Artinya aku dituntut untuk menyelesaikan sekolah dulu sampai kuliah. Setelah itu …. Lain lagi ceritanya.
Kedua, aku dituntut sekali untuk belajar rajin. Mamaku melarang pacaran sebab, khawatir nilaiku menurun karena aku tipe orang yang harus bekerja keras dulu baru mendapatkan hasil yang bagus. Jadi gak bisa santai-santai tau-tau dapat hasil bagus.
Ketiga, khawatir akan pergaulan bebas akibat pacaran jaman sekarang. Banyak pelajar atau mahasiswa yang hamil diluar nikah dan masa depannya hancur karena awalnya pacaran.  Nilai yang turun akibat sering pergi dengan pacar karena malas belajar, dan kejadian sering membohongi ortu, bahkan sampai mama menjelaskan pacaran gak ada gunanya hanya menyusahkan ortu apalagi sang laki-laki berlaga bayarin perempuannya makan/jajan padahal belum bekerja.
Keempat, masa lalu mamaku. Selama sekolah mamaku tidak pernah pacaran. Wah pantas saja ingin diturunkan ke anak-anaknya. Stigma pacaran itu buruk saat sekolah, merupakan doktrin yang baik untukku.
Kelima, tidak mengekang. Mamaku tidak pernah mengekang aku bergaul dengan siapapun. Asalkan jelas asalnya, laki-laki pun ga masalah. Yang penting tahu batasannya.
Misal, kerja kelompok di rumah laki-laki, itu tidak masalah. Asalkan ramai-ramai.
Keenam, nasihat yang tidak pernah putus. Setiap ingin keluar rumah selalu ditanya, mau pergi sama siapa, dimana, dan pulangnya jangan telat-telat.
Atau jika ternyata ada laki-laki yang mendekatiku, mama ga pernah absen untuk mengingatkan. “Kamu suka sama dia boleh, itu normal, tapi ingat jangan pacaran dan jaga jarak ya” berteman biasa saja. Kalau dia ngajak pacaran, jangan mau ya. Ingat, kamu belum waktunya boleh pacaran.

Dengan mudahnya aku menurut. Bak dihipnotis. Tidak pernah sedikitpun aku diam-diam menjalin hubungan lebih dari teman dengan laki-laki. Seakan-akan kayak kontrak wajib, pokoknya kalau sekolahnya belum selesai gak boleh. Aturan itu tidak pernah berubah.
Selama SMA pun perilakuku masih sama. Nurut. Tidak pernah membangkang sama sekali.

Bersambung ...... 
Simak cerita berikutnya dalam judul "Cinta setelah Cita-cita" :) 

By :
Free Blog Templates