Saturday 2 May 2020

Dibalik sebuah Penantian


Pernahkan kamu berpikir, kapan waktu yang tepat untuk menjalin sebuah hubungan?
Sekedar suka? Wajar.
Disini tidak akan ada bahasan yang mengandung konteks keagamaan melainkan perlukah mempunyai hubungan sebelum waktunya?
Maka akan kuulas disini menurut versiku. Kalau kamu punya versi yang lain boleh, komen dibawah ya. Bebas. Kalau pro denganku berarti kita sejalan, tapi kalau kontra? Tenang …. Ini tentang sebuah pemikiran dan bukan berarti harus selalu sama kan?
Baik, maksudku menyampaikan narasi ini yaitu untuk berbagi pengalaman berdasarkan apa yang aku rasakan sedari kecil – masa sekolah – kuliah sampai sekarang (bekerja). Beserta pola asuh orang tuaku yang membentuk dan menjadikanku seseorang dengan pribadi seperti ini.
***
Adel merupakan seorang gadis penurut anak pertama dari 3 bersaudara. Semua nasihat dan larangan hampir jarang ada yang gak dipatuhin. Terkecuali : minum es. Karena dari kecil emang susah banget buat ngilangin ngga minum air es. Hahaha.


Sedari kecil sering liat teman suka-sukaan sama lawan jenis. Ya gapapa sih. Toh mereka kayak masih malu-malu gitu kan. Ya jadi biasa aja, aku pun juga pernah.
Mulai SMP, sedikit ngerti tentang pacaran itu apa. Yaitu keterikatan hubungan antar lawan jenis. Kamu milik aku, dan aku milik kamu.
Banyak banget yang pacaran waktu SMP, serasa mereka keren dan aku ngenes banget. Kayak gak ada yang mau, apa karena jelek ya. Whatever.


Setelah itu mulailah kepo nanya-nanya ke mama. “Mah, si ini punya pacar, ganteng lohh, temen sekolah juga”. Biarin, kamu gak usah ikut-ikutan dia.
Pacaran tuh gak baik mba, apalagi kamu masih sekolah, udah belajar aja yang benar.
Seperti itulah respon mamaku, saat aku bercerita tentang temanku yang berpacaran. Jadi dalam mindsetku pacaran itu benar-benar buruk. Dan sebisa mungkin aku hanya ingin bergaul dengan teman yang gak punya pacar juga.
Bukannya takut iri ya. Tapi gak tau kenapa kayak yang gimana gitu kalo punya teman tapi dia pacaran mulu. Risih. Dan di dalam mindsetku cewek yang punya pacar pada waktu sekolah adalah cewek centil. Dan disitu aku merasa cewe yang gak centil dan cupu. Karena saking gak pernah deket sama cowo pada waktu SMP.
Dan benar saja aku berteman dengan cewe-cewe jomblo, dan kita kalau main membahas tentang apapun, suka sama cowo aja bareng-bareng hahaha. Jadi kita suka sama cowo yang sama. Tapi kita anggap itu just for fun bukan buat pacaran.

Alhamdulillah selama SMP aku tidak goyah sama sekali jadi gak ada yang namanya backstreet, diam-diam berpacaran dengan siapa gitu. Karena saking kuatnya doktrin mamaku ke dalam otakku. Sampai ingin melanggar aja aku ciut tak ada keberanian sama sekali. Saking takut akan dampaknya pacaran yang sudah diuraikan oleh mamaku.
***
Loh tapi gimana, aku bisa patuh sama doktrin itu, padahal terkesan sepele hanya lewat kata-kata saja?
Pertama, mama menegaskan aku gak akan pernah diizinkan pacaran selama sekolah. Artinya aku dituntut untuk menyelesaikan sekolah dulu sampai kuliah. Setelah itu …. Lain lagi ceritanya.
Kedua, aku dituntut sekali untuk belajar rajin. Mamaku melarang pacaran sebab, khawatir nilaiku menurun karena aku tipe orang yang harus bekerja keras dulu baru mendapatkan hasil yang bagus. Jadi gak bisa santai-santai tau-tau dapat hasil bagus.
Ketiga, khawatir akan pergaulan bebas akibat pacaran jaman sekarang. Banyak pelajar atau mahasiswa yang hamil diluar nikah dan masa depannya hancur karena awalnya pacaran.  Nilai yang turun akibat sering pergi dengan pacar karena malas belajar, dan kejadian sering membohongi ortu, bahkan sampai mama menjelaskan pacaran gak ada gunanya hanya menyusahkan ortu apalagi sang laki-laki berlaga bayarin perempuannya makan/jajan padahal belum bekerja.
Keempat, masa lalu mamaku. Selama sekolah mamaku tidak pernah pacaran. Wah pantas saja ingin diturunkan ke anak-anaknya. Stigma pacaran itu buruk saat sekolah, merupakan doktrin yang baik untukku.
Kelima, tidak mengekang. Mamaku tidak pernah mengekang aku bergaul dengan siapapun. Asalkan jelas asalnya, laki-laki pun ga masalah. Yang penting tahu batasannya.
Misal, kerja kelompok di rumah laki-laki, itu tidak masalah. Asalkan ramai-ramai.
Keenam, nasihat yang tidak pernah putus. Setiap ingin keluar rumah selalu ditanya, mau pergi sama siapa, dimana, dan pulangnya jangan telat-telat.
Atau jika ternyata ada laki-laki yang mendekatiku, mama ga pernah absen untuk mengingatkan. “Kamu suka sama dia boleh, itu normal, tapi ingat jangan pacaran dan jaga jarak ya” berteman biasa saja. Kalau dia ngajak pacaran, jangan mau ya. Ingat, kamu belum waktunya boleh pacaran.

Dengan mudahnya aku menurut. Bak dihipnotis. Tidak pernah sedikitpun aku diam-diam menjalin hubungan lebih dari teman dengan laki-laki. Seakan-akan kayak kontrak wajib, pokoknya kalau sekolahnya belum selesai gak boleh. Aturan itu tidak pernah berubah.
Selama SMA pun perilakuku masih sama. Nurut. Tidak pernah membangkang sama sekali.

Bersambung ...... 
Simak cerita berikutnya dalam judul "Cinta setelah Cita-cita" :) 

0 comments:

Post a Comment

Hey! Somebody comment!

By :
Free Blog Templates